Ternyata Aku Jago Kandang – Dari Pendahuluan Buku “Anda Jago Kandang atau Kelas Dunia”


Ternyata Aku Jago Kandang

oleh Iman Supriyono
-Dari Pendahuluan Buku “Anda Jago Kandang atau Kelas Dunia?”, Karya ke-8 Penulis-

Suatu pagi di awal tahun 78. Hari itu adalah pertama kali saya masuk sekolah. SD Negeri Kaliabu I, Kecamatan Mejayan, Kabupaten Madiun. Kawan-kawan sudah duduk di bangkunya masing-masing. Saya sendiri yang belum. Hati saya begitu galau.

Suasananya asing. Seperti inikah sekolah yang sebelumnya saya rindukan? Saya stress. Berdiri sendirian di antara kawan-kawan yang sudah pada duduk. Saya pun memutuskan untuk pulang kembali ke rumah sambil membawa sepotong jagung rebus yang saya beli dari pedagang di depan sekolah. Tak terasa…air mata meleleh. Sebuah kegagalan penyesuaian diri di lingkungan baru pada hari pertama sekolah.

Iman saat SMP, duduk di baris depan, nomor 3 dari kanan

Iman saat SMP, duduk di baris depan, nomor 3 dari kanan

Setiba di rumah ibu terkejut. Buah hatinya pulang sebelum waktunya. Lebih terkejut lagi ketika mendapati air mata membasahi pipi. Ada apa gerangan. Anak laki-laki kok menangis.

Saya jelaskan apa yang terjadi. Masih dengan linangan air mata. Dengan penuh empati, ibu segera mengantarkan saya kembali ke sekolah. Membantu buah hatinya menghadapi permasalahan yang tak sanggup ditanggungnya sendiri.

Tiba di sekolah ibu menuju ruang guru. Menghadap seorang ibu guru. Dijelaskannya apa yang dialami buah hatinya. Dijelaskan juga tentang “kecengengan” buah hati laki-lakinya. Ibu minta tolong bu guru untuk masalah si buah hatinya.

Singkat kata, saya diantar masuk ke dalam kelas. Dengan keberadaan ibu dan ibu guru, dengan mudah saya mendapatkan bangku. Duduk berdua dengan seorang kawan. Ibu meninggalkan kelas setelah memastikan buah hatinya tidak ada lagi masalah di lingkungan barunya

Hati saya bertanya. Tadi saya begitu sulit mendapatkan tempat duduk. Kini, bersama ibu dan ibu guru, mengapa semuanya jadi begitu mudah? Betapa lemahnya diri ini.

Hari pertama di sekolah memang berat. Air mata menjadi saksi. Hari-hari selanjutnya tentu tidak seperti hari pertama. Akrab dengan satu demi satu kawan di kelas. Penyesuaian demi penyesuain terjadi. Hasilnya? Setiap menerima raport saya selalu juara kelas!

Luar biasa. Itulah perasaan yang berkecamuk di dada saya setiap mendapatkan penghargaan atas prestasi akademik. Saya juara! Saya jagoan! Mengalahkan semua kawan-kawan di kelas! Kawan-kawan yang pada hari pertama sekolah mengacuhkan saya dan membuat saya menangis.

Benar-benar hebatkah? Hahaha…. jangan bayangkan ini sebuah kehebatan. Saya merasa hebat murni karena adanya mental jago kandang. Menjadi jago dengan tingkat persaingannya tidak ketat. Menjadi jagoan di sebuah SD yang para muridnya selalu bertelanjang kaki di sekolah. SD yang jika muridnya akan buang hajat harus pergi ke sungai. SD yang sangat sederhana. Menjadi jagoan di kandang yang sempit. Jago kandang!

Saya bersyukur karena setamat SD berkesempatan masuk SMP. Teman-teman SD lebih banyak yang tidak berkesempatan seperti saya. Inilah yang menghentikan kesombongan saya. SMP Negeri 1 Caruban adalah tempat berkumpulnya para juara dari SD-SD di beberapa kecamatan. Maka, saya jauh terkalahkan oleh kawan-kawan yang berasal dari kota.

Anda Jago Kandang atau Kelas Dunia - Buku ke 8 Iman Supriyono

Anda Jago Kandang atau Kelas Dunia - Buku ke 8 Iman Supriyono

Bahkan mungkin saya benar-benar nampak sebagai anak udik. Ndesit dalam bahasa Jawa. Jika musim hujan, tiba di sekolah hampir selalu dalam keadaan kotor setelah bergelut di jalanan berlumpur hampir 6 kilometer. Saya pun menjadi bahan olokan kawan-kawan. Menjadi bulan-bulanan.

Bukan hanya masalah lumpur. Olokan kawan-kawan merembet ke mana-mana. Apapun yang ada pada diri saya menjadi bahan olokan. Benar-benar membuat saya down.

Suasana seperti hari pertama di SD kembali saya rasakan. Tangisan kegalauan itu muncul lagi walaupun air mata tidak menetes. Tangisan di dalam hati. Tega-teganya mereka mengolok-olok seperti itu.

Segala sesuatunya berubah saat saya kelas 2. Prestasi akademik mulai membaik. Percaya diri juga tumbuh dengan ikut karate. Puncaknya….. suasana berkembang seperti ketika di SD. Saat ujian akhir, saya mendapatkan ranking dua. Mengalahkan lebih dari 300 orang kawan seangkatan. Jago lagi!

SD dan SMP terlalui dengan penuh dinamika. Dari tangisan kejatuhan mental sampai menjadi juara. Menjadi jagoan. Bagaimana dengan SMA? Yang ini saya merasa lebih hebat lagi. Benar-benar jago. Selama tiga tahun selalu ranking atas. Di kelas 1 menjadi ketua kelas. Kelas 2 menjadi ketua OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah) dan pimpinan redaksi majalah sekolah. Kelas 3 ketua kelas lagi. Sering ditunjuk mewakili sekolah dalam berbagai event. Tingkat kabupaten maupun propinsi. Selalu jagoan. Selalu menang. Dari hari pertama sekolah sampai lulus!

Sebagai pimpinan redaksi majalah sekolah, saya dipercaya oleh bapak-ibu guru untuk megang kunci ruang stensil. Majalah memang digandakan dengan mesin stensil. Padahal, semua soal yang akan diujikan juga selalu dicetak di ruang stensil. Artinya, bapak ibu guru percaya bahwa saya tidak akan berbuat curang dengan membaca soal-soal ujian di ruang stensil. Apalagi membocorkannya kepada orang lain. Sebuah gambaran sempurna tentang jagoan! Jago tingkat SMA

&&&

Lulus SMA, saya masuk ITS. Di kampus teknologi ini saya tersadar. Saya tidak ada apa-apanya. Memang saya pernah punya IP 3,11. Indeks prestasi yang ketika itu tertinggi no 2 di kampus. Tapi itu hanya sekali. Lainnya pas-pasan. Bahkan ada yang nol koma.

Di luar dunia akademik, prestasi aktivitas pun tak terlihat. Kegiatan kemahasiswaan yang saya geluti tidak sukses. Datar-datar saja. Dalam perenungan, saya menggugat diri sendiri. Mana Iman Supriyono yang dulu ketua OSIS? Mana Iman Supriyono yang dulu Pimred Majalah? Mana Iman Supriyono yang dulu ranking satu?

Satu sisi, renungan gugatan diri ini bisa dipandang sebagai bukti kekalahan. Bukti keterpurukan prestasi. Tapi sisi lainnya, itu adalah renungan keterbukaan. Tanda tentang makin luasnya cakrawala. Jauh lebih luas dari pada sebelumnya. Tidak lagi merasa jago. Apalagi ternyata hanya jago kandang.

Keluasan cakrawala adalah modal utama. Energi penting untuk bangkit. Berproses menuju kelas lebih tinggi. Kelas yang berisi “murid-murid” yang jauh lebih berkualitas. Kelas dunia.

Lain cita-cita, lain realitas. Cita-cita begitu tinggi. Realitas masih jauh dari harapan. Jauh dari kelas dunia. Tetapi, sesederhana apapun, proses pencapaian telah dimulai. Bendera telah dikibarkan. Makin lama makin dekat.

Perjalanan memang masih sangat panjang. Benar-benar panjang. Tetapi ketika pulang kampung dan berjumpa kawan-kawan SD, saya sangat bersyukur. Banyak kawan-kawan yang sampai saat ini masih berada di “kandang” yang sama. “Kandang” yang saya huni tiga puluh tahun lalu. Nyaris sama sekali tanpa perubahan.

Inilah hikmah. Energi jiwa yang menyala. Kekuatan baru yang muncul di antara tantangan berat dan rasa syukur. Tantangan berat untuk membawa SNF Consulting, kantor konsultan yang saya bangun, mencapai visinya. Menjadi kantor konsultan yang dipercaya peru
sahaan-perusahaan kelas dunia. Rasa syukur karena tidak lagi merasa sebagai jagoan. Jago kandang yang mengalahkan Paimin, Jari, Jani, Marsidi, Waimun, Darmiati, Mainah, Jinem, Sardi, Karmi, Sarimin, Wiji, Yatimun, Sarmat, Saiman, Waiman, dan kawan- kawan SD lainnya.

—-
Ingin membaca isi lengkap buku ini? Pesan langsung ke SNF Consulting melalui SMS ke 081 931 510 532 gratis ongkos kirim (syarat berlaku). Harga Rp 48 Ribu

9 responses to “Ternyata Aku Jago Kandang – Dari Pendahuluan Buku “Anda Jago Kandang atau Kelas Dunia”

  1. Luar biasa,matur nuwun pak iman utk tulisannya yg menginspirasi….mohon info email njenenengan karena kami bermaksud mengundang jenengan dalam sesi komunitas jaringan pengusaha muda muhammadiyah…tks

  2. saya baru tahu….begitu lihainya…iman dalam menulis dan memberikan inspirasi….meski sebenarnya saya udah cukup lama mengenal dia sebagi salah satu “motor” gerakan mahasisiwa/i islam
    di JMMI ITS…..selamat kang iman…..mari kita keluar dari kandang…tapi lewat pintu yg bener..jgn lewat sela-sela bambunya…kesempitan..he..he…

  3. Ijin Sharing

  4. terima kasih. Udah “tamat” baca buku jenengan. “Jago kandang or kelas dunia?” Bahkan, saya ulang berkali2. Meski saya tidak khataman. Tapi perjalanan ke arah itu, kelas dunia, di lapangan nyata, tak secepat baca bukunya. he2. Setidaknya mengarah sana mas. oks.

  5. Ping-balik: Buku Anda Jago Kandang atau Kelas Dunia ? – SNF Consulting

  6. Ping-balik: Sepeda Brompton: Endorsed by Garuda Indonesia | Catatan Iman Supriyono

Tinggalkan komentar