Dhoby Ghaut-Gubeng: Kereta Yang Seperti Langit dan Sumur


Dhoby Ghaut-Gubeng

Oleh Iman Supriyono, konsultan pada SNF Consulting dan penulis 8 buku2 bisnis, http://www.snfconsulting.com

Stasiun Gubeng Pebruari 2009. Tiga lembaran seribuan rupiah saya terima bersama tiket Surabaya-Caruban untuk ibunda tercinta. Sebelumnya saya menyodorkan uang Rp 20 ribu untuk petugas tiket. Segera saya baca jadual keberangkatan kereta di tiket. Pukul 14.35 kereta Sritanjung dijadulkan meninggalkan Stasiun Gubeng menuju Stasiun Caruban.

Stasiun Gubeng 14.35 wib. Waktu telah berlalu. Stritanjung belum datang. Tidak terlihat sedikitpun kekecewaaan pada wajah ibu. Tampaknya ia sudah berdamai dengan Sritanjung. Keterlambatan seolah sudah menjadi menu wajib.

Kereta api adalah kendaraan faforit ibu manakala bepergian. Ibu yang sudah sepuh tidak tahan naik bus. Maka, jika tidak bersama anak-anaknya bermobil, dia selalu memilih kereta api. Jadi, keterlambatan jadual juga menjadi bagian penting dari kisah traveling ibu mengunjungi cucu cucunya yang di luar kota.

Saat berangkat dari Stasiun Caruban dua hari sebelumnya, ibu juga harus menunggu Sritanjung lima jam. Terjadual jam 11.30 tetapi baru berangkat jam 16.30. Walaupun kecewa harus menunggu 5 jam untuk perjalanan 3 jam, ibu tetap setia. Tidak ada alternatif lain dalam kamus traveling-nya.

•••••

Dhoby Ghaut Interchange Juli 2008. “Nex Train 2 Mins NE 17 Punggol” tertulis di layar besar di ruang tunggu stasiun. Persis dua menit kemudian, pintu kereta pun terbuka. Seluruh penumpang masuk menuju stasiun tujuan masing masing. Stasiun Punggol yang berkode NE 17 adalah stasiun terakhir pemberhentian kereta. Saya harus berhenti di NE 14 alias stasiun Hougang. Tiga stasiun sebelum Punggol, pemberhentian terakhir KRL ke arah timur laut negeri singa ini.

Pintu kereta menutup. Kereta segera berangkat. Perlahan kereta melaju. Dimanapun para penumpang duduk atau berdiri di kereta, ia akan dengan mudah bisa menyaksikan layar bertuliskan “Next station, NE 7 Little India”. Pada saat yang sama, tulisan itu dibacakan oleh suara otomatis dari sound system kereta. Penumpang tuna netra atau mungkin tidak bisa membaca karena suatu hal, bisa mendapatkan informasi akurat dari suara ini. Para penumpang yang memang akan turun di Little India bisa bersiap mendekat pintu. Begitu kereta berhenti dan pintunya terbuka, penumpangpun turun dengan tertib disusul dengan naikkan penumpang dari stasiun NE 7. Little India. Tidak perlu bertanya. Tidak perlu ragu.

Demikainlah rutinintas berulang dari stasiun ke stasiun. NE 8 Farrer Park, NE 9 Boon Keng, NE 10 Potong Pasir, NE Woodleigh, NE 12 Serangoon, NE 13 Kovan. Segalanya berjalan dengan tertib, aman dan lancar. Tepat waktu.

Next station NE 14 Hougang. Begitu tulisan itu terpampang di layar monitor, saya pun berdiri meninggalkan bangku. Mendekat menuju pintu kereta. Dengan tertib penumpang yang turun di Hougang meninggalkan kereta. Para penumpang yang akan naik menunggu sampai seluruh tidak ada lagi penumpang yang turun. Tertib, aman, lancar, tepat waktu.

•••••

Dhoby Ghaut-Gubeng ibarat langit dan sumur. Tidak cukup dengan langit bumi. Perbedaan yang sangat jauh. Disiplin versus molor. Maka jangan heran kalau kecelakaan kereta api terjadi dan terjadi lagi di negeri ini. Tabrakan tentu tidak bisa dihindari manakala dua kereta berjalan di atas rel yang sama dengan kecepatan berbeda. Apalagi bila arahnya berlawanan. Sesuatu yang tidak mungkin terjadi kecuali akibat ketidakdisiplinan terhadap jadual perjalanan yang telah disusun rapi. Tidak mungkin jadual dibuat untuk tabrakan.

Maka, bisa dimaklumi bila kemudian masyarakat lebih suka naik motor atau kendaraan pribadi. Jalanan pun penuh. Kemacetan ada dimana mana. Orang energi membacanya dengan satu kata: pemborosan.

Bagaimana tidak boros kalau mobil yang mestinya bisa berisi empat penumpang atau lebih hanya dinaiki satu orang. Bagaimana tidak boros bila ratusan orang mestinya bisa diangkut dengan sebuah rangkaian gerbong kereta api harus naik motor sendiri sendiri. Boros bensin boros jalan. Maka….kemacetan pun makin menjadi jadi. Makin boros dan makin boros.

Maka…mari berbenah diri. Tidak usah menyalahkan orang lain. Mulai dari diri sendiri, mulai sekarang juga, mulai dari yang terkecil. Disiplin itu kata kuncinya. Kalau Anda janji ketemu jam 9 pagi misalnya, pastikan bahwa sepuluh menit sebelumnya Anda sudah datang. Bila ini sudah menjadi budaya masyarakat, suasana Gubeng, Gambir, atau stasiun-stasiun lain akan seperti Dhoby Ghaut dan Punggol. Allohu akbar!

tulisan ini pernah dimuat di situs Indonesia Energy Watch

6 responses to “Dhoby Ghaut-Gubeng: Kereta Yang Seperti Langit dan Sumur

  1. He.he. Dhoby Ghaut-Gubeng ibaratnya bukan langit dan sumur, tapi sudah antara langit ke 7 dengan dataran rendah bumi.
    Ada sindirin kalau mau melatih kesabaran.. maka naiklah angkot di surabaya.

  2. Ada satu anekdot di Indonesia..”Jika anda mempunyai acara/rapat maka undanglah orang satu jam sebelum acara resmi dimulai, karena jika anda undang orang itu pada jam sebenarnya maka paasti orang itu kan dtg 1 jam sesedahnya..pas seperti yang saya lakukan saat ini acara jam 09.00 tapi blm ada yang datang…

  3. lha kok sama dengan yg di sini ya…. mas heru ha..hhaa …ha..

Tinggalkan Balasan ke Heru Batalkan balasan